Perilaku yang diperbuat dan kata-kata yang diucapkan terkadang bisa diartikan berbeda. Cerita ini saya ambil dari pengalaman yang pernah terjadi waktu saya masih sekolah. Apapun itu, seharusnya tetap pada niat awal yaitu belajar dan belajar. semoga bermanfaat ya..
Aku Tidak Populer
Oleh: Apandi
Aku tidak populer. Badanku tidak tinggi,
dan juga tidak terbilang proporsional. Kadang ada yang menyebutku pendekar –
pendek dan kekar, karena aku sangat menyukai lari dan olah raga, juga nonton
film jackie chan. Orang banyak
menilaiku dari segi fisik. Mereka mengatakan mukaku seram, bengis, seperti anak
nakal atau mungkin anak berandal.
Pakaian yang kukenakan juga bukan barang
mahal, kebanyakan pakaian bekas kakakku yang tidak dipaka. Bagiku itu pakaian
baru. Kecuali seragam sekolah yang bukan bekas, aku meminta ibuku untukmembeli
bahan dan menjahitnya.
Aku memiliki banyak teman, walaupun
mungkin mereka hanya memanfaatkan kepandaianku di sekolah. Waktu sekolah dasar saja
pernah ada yang sengaja memintaku mengerjakan pr-nya lalu aku diberi upah. Kami
sempat dekat ketika ada tugas sekolah, tapi ketika tidak ada tugas, rasanya aku
tidak bisa dibilang sebagai temannya.
Ketika SMP, aku banyak dekat dengan
beberapa teman, yang lagi-lagi mendekatiku jika banyak tugas diskusi dan tugas
sekolah, itupun bukan dari siswa yang populer. Aku dekat dengan siswa-siswa
menengah ke bawah, dari segi nilai, karena aku orang yang bisa diandalkan.
Ketika ada acara apupun, tidak jarang aku tidak dilibatkan. Karena memang bukan
tugas sekolah, jadi mau gimana lagi. Kalo liburan, terkadang aku hanya diam di
rumah karena pelayananku tidak dibutuhkan, kecuali ada tugas sekolah. Aku
adalah anak rumahan. Boleh dibilang begitu.
Waktu aku baru masuk SMA, orang-orang
tampak asing buatku. Semuanya dari latar belakang yang berbeda. Dan semuanya
membuatku tercengang, aku tidak sendirian dan tidak semua orang tua itu
kerjanya tani. Setidaknya waktu SD hampir semua teman-temanku orang tuanya
bekerja sebagai petani. Cukup polos aku dengan pemikiran sedangkal itu.
Sekolahku merupakan sekolah terkenal,
bahkan banyak yang mengatakan bahwa sekolahku adalah sekolah model, siswa-siswi
nya cantik-cantik dan ganteng-ganteng begitu mereka bilang. Karena aku orang
yang jenaka, aku dengan mudah mendapat teman, setidaknya teman yang memiliki
selera humor setinggi aku.
Pertama kali masuk kelas baru setelah
pembagian kelas, aku duduk di barisan paling belakang. Teman-teman sekelasku
semua langsung menempati bangku pilihannya dan posisi piliha mereka sesuai
dengan kasta atau geng mereka mungkin. Hanya ada kursi kosong di barisan paling
belakang yang nampaknya akan menjadi tempatku nanti. Aku mengatakan pada diriku
bahwa aku anak yang terbelakang. Duduk paling belakang, maka kukatakan
terbelakang. Bisa dibayangkan siswa yang memilih untuk duduk di depan biasanya
siswa yang baik dalam hal prestasi, tapi orang yang duduk di belakang biasanya
memiliki kemampuan yang kurang. Begitu kah? Aku rasa tidak.
“Tidak apa-apalah selama masih sekolah,
asal jangan nangkel aja di pintu, emangnya di angkot ga kebagian tempat duduk”
pikirku.
Duduk di belakang membuatku sedikit
tersiksa, hal pertama yang kudapat adalah susahnya akses ke sumber ilmu yaitu
guru, setidaknya karena aku tidak memiliki buku. Dikerumuni siswa yang kerjanya
hanya nyontek dan mengobrol. Tapi ada satu hal yang menarik, karena mereka
melihat dan mempertimbangkan wajahku, jadi mereka beranggapan bahwa aku tidak
terlalu pintar. Jadi mereka sama sekali tidak menyontek hasil kerjaanku karena
mereka tidak percaya bahwa aku bisa memahami pelajaran aapun. Tidak ada yang
mengatakan aku jelek, tapi pandangan mereka yang meanarik diri mereka yang
membuat aku yakin bahwa mereka beranggapan bahwa aku tidak pintar dan sedikit
nakal, dalam artian anak sekolah.
Ketika pelajaran matematika, mata
pelajaran kesusakaanku, kami diberi beberapa soal untuk dikerjakan. aku dengan
tekun dan teliti mengerjakan soal itu. Kelompok murid terbelakang, duduk paling
belakang, tidak ada yang bertanya tentang bagaimana cara soal itu dikerjakan
(karena mengira diriku tidak pintar).
“kamu bisa? Cepet banget kamu
ngerjainnya?” kata Endang, teman sebangkuku.
“ini mah gampang, atuh.” Jawabku dengan
yakin.
“hebat euy, dikira tuh, kamu ga bisa
apa-apa.” Sambil tertawa dan menyalin hasil kerjaanku.
Pikirku “udah nyontek, pake menghina
lagi. Untung badannya gede, jadi gua ga berani”
Dari sana siswa-siswa terbelakang mulai
mendekatiku. Bisa dimafaatin nih bocah, aku yakin mereka berpikir seperti itu.
“ya Allah, giliran dapet temen kaya gini,
sabar” gerutuku dalam hati sambil terus menyelesaikan soal.
Tanpa banyak bergaul dengan teman sekelas
yang lain, yang jumlahnya 42 orang satu kelas, aku terus bergelut dengan
pelajaran. Fokusku yang penting belajar sama sekolah. Walaupun kadang aku
ngobrol dengan teman-teman yang lain tapi cuman sekedar sapaan. Pulang tnggal
pulang tanpa banyak kegiatan yang kulakukan. Sebenarnya di kelas ada teman satu
SD namun, aku pikir kita beda kasta, jadi kalo ngobrol tuh kadang ga nyambung.
Mereka ngomongnya soal maen sama gaul ke luar, sedangkan aku hanya diam di
rumah.
Masa sekolah sudah berjalan tiga bulan.
Kami pun dapat UTS (ujian tengah semester) ganjil. Dan pengumuman hasilnya hari
ini. Yang lucu adalah tidak ada perasaan apupun soal prestasi atau mengejar
rangking kelas yang penting sekolah itu pikiranku. Ketika wali kelas kami
mengumumkan urutan rangking, aku tidak penasaran berapa rangkingku nanti,
beliau berkata, “baik, kita umumkan yang rangking pertama adalah Apandi, tepuk
tangan!”
Deg, perasaanku sedikit aneh tak percaya
campur senang sekali. Semua anak kelas 1.2 memandangiku seolah tidak percaya.
“Pandi, hebat euy. Ga nyangka.” Begitu
kata teman-temanku.
“euh, iya. Terima kasih.” Jawabku dengan
malu dan wajah memerah, walaupun mukaku item. Tetap saja terasa merah.
“mana sih yang namanya Apandi teh?”
celetuk seorang siswi di kelasku. Namanya Neng Lilis, pasti ku kenal.
“hah? tiga bulan sekolah, 6 hari dalam
seminggu, 7 jam dalam sehari, dia masih nanya, Raihan tuh yang mana” pikirku
dalam hati sambil sedikit kesal.
Bayangkan, kita sekolah bertemu setiap
hari tapi ada siswa yang sampai tidak mengenal teman sekelasnya. Dari sana aku
yakin bahwa selama ini mereka tidak menganggap orang dari kepandaiannya, tapi
mereka lebih melihat seseorang dari fisiknya saja. Aku sampai tidak habis
pikir, tapi aku tidakterlalu menghiraukan omongan itu. Setelah itu aku langsung
memaafkan mereka semua. Mengingat hal tersebut wajar karena mukaku yang
terlihat bengis.
Setelah mereka tahu bahwa aku pintar
barulah aku lebih dianggap sebagai siswa di kelas tersebut, memang sebelumnya aku
dianggap apa. Mereka semua mulai mengenalku dan mau mengajakku jika ada
kegiatan diskusi.
“pandi, kamu masuk grup kita ya, biar
bisa bagus diskusinya.” Teriak Neng Lilis.
“ehm, emang giliran ada mauya aja, semua
pada nganggep!” gumamku dalam hati.
Aku mulai pindah tempat duduk dari
terbelakang menjadi terdepan. Dan aku mampu mempertahankan prestasiku sampai
setahun penuh. Kami mulai saling bergaul, main bareng dan kerja kelompok
bergantian di rumah yang satu ke rumah yang lain.
Mungkin sekarang, perlakuan mereka
dianggap mem-bully tapi itu jika kita menanggapinya, tapi jika kita
menganggapnya motivasi untuk ajang pembuktian diri, aku rasa ada bagusnya.
Mereka tidakakan menganggap sebelah mataterhadap kitaasal kita kuat dan mau
berubah dan berkembang. Aku sangat senang ditambahkan lagi, siswi yang dulunya
mengatakan “mana sih yang namanya Apandi tuh?” sekarang menjadi temanku dan
sahabatku terbaikku.
Aku akhirnya naik ke kelas dua. Apa yang
terjadi di kelas itu adalah perlakuan yang sama yang kudapat ketika aku pertama
kali masuk kelas satu.
“kira-kira bisa dapet rangking berapa ya
sekarang?” tanyaku dalam hati.
“ehm, tantangan lagi deh”
“aku benar-benar tidak populer”
Sekian.