Friday, April 27, 2018

Cerita Pendek : Aku Tidak Populer


Perilaku yang diperbuat dan kata-kata yang diucapkan terkadang bisa diartikan berbeda. Cerita ini saya ambil dari pengalaman yang pernah terjadi waktu saya masih sekolah. Apapun itu, seharusnya tetap pada niat awal yaitu belajar dan belajar. semoga bermanfaat ya..

Aku Tidak Populer
Oleh: Apandi

Aku tidak populer. Badanku tidak tinggi, dan juga tidak terbilang proporsional. Kadang ada yang menyebutku pendekar – pendek dan kekar, karena aku sangat menyukai lari dan olah raga, juga nonton film jackie chan. Orang banyak menilaiku dari segi fisik. Mereka mengatakan mukaku seram, bengis, seperti anak nakal atau mungkin anak berandal.
Pakaian yang kukenakan juga bukan barang mahal, kebanyakan pakaian bekas kakakku yang tidak dipaka. Bagiku itu pakaian baru. Kecuali seragam sekolah yang bukan bekas, aku meminta ibuku untukmembeli bahan dan menjahitnya.
Aku memiliki banyak teman, walaupun mungkin mereka hanya memanfaatkan kepandaianku di sekolah. Waktu sekolah dasar saja pernah ada yang sengaja memintaku mengerjakan pr-nya lalu aku diberi upah. Kami sempat dekat ketika ada tugas sekolah, tapi ketika tidak ada tugas, rasanya aku tidak bisa dibilang sebagai temannya.
Ketika SMP, aku banyak dekat dengan beberapa teman, yang lagi-lagi mendekatiku jika banyak tugas diskusi dan tugas sekolah, itupun bukan dari siswa yang populer. Aku dekat dengan siswa-siswa menengah ke bawah, dari segi nilai, karena aku orang yang bisa diandalkan. Ketika ada acara apupun, tidak jarang aku tidak dilibatkan. Karena memang bukan tugas sekolah, jadi mau gimana lagi. Kalo liburan, terkadang aku hanya diam di rumah karena pelayananku tidak dibutuhkan, kecuali ada tugas sekolah. Aku adalah anak rumahan. Boleh dibilang begitu.
Waktu aku baru masuk SMA, orang-orang tampak asing buatku. Semuanya dari latar belakang yang berbeda. Dan semuanya membuatku tercengang, aku tidak sendirian dan tidak semua orang tua itu kerjanya tani. Setidaknya waktu SD hampir semua teman-temanku orang tuanya bekerja sebagai petani. Cukup polos aku dengan pemikiran sedangkal itu.
Sekolahku merupakan sekolah terkenal, bahkan banyak yang mengatakan bahwa sekolahku adalah sekolah model, siswa-siswi nya cantik-cantik dan ganteng-ganteng begitu mereka bilang. Karena aku orang yang jenaka, aku dengan mudah mendapat teman, setidaknya teman yang memiliki selera humor setinggi aku.
Pertama kali masuk kelas baru setelah pembagian kelas, aku duduk di barisan paling belakang. Teman-teman sekelasku semua langsung menempati bangku pilihannya dan posisi piliha mereka sesuai dengan kasta atau geng mereka mungkin. Hanya ada kursi kosong di barisan paling belakang yang nampaknya akan menjadi tempatku nanti. Aku mengatakan pada diriku bahwa aku anak yang terbelakang. Duduk paling belakang, maka kukatakan terbelakang. Bisa dibayangkan siswa yang memilih untuk duduk di depan biasanya siswa yang baik dalam hal prestasi, tapi orang yang duduk di belakang biasanya memiliki kemampuan yang kurang. Begitu kah? Aku rasa tidak.
“Tidak apa-apalah selama masih sekolah, asal jangan nangkel aja di pintu, emangnya di angkot ga kebagian tempat duduk” pikirku.
Duduk di belakang membuatku sedikit tersiksa, hal pertama yang kudapat adalah susahnya akses ke sumber ilmu yaitu guru, setidaknya karena aku tidak memiliki buku. Dikerumuni siswa yang kerjanya hanya nyontek dan mengobrol. Tapi ada satu hal yang menarik, karena mereka melihat dan mempertimbangkan wajahku, jadi mereka beranggapan bahwa aku tidak terlalu pintar. Jadi mereka sama sekali tidak menyontek hasil kerjaanku karena mereka tidak percaya bahwa aku bisa memahami pelajaran aapun. Tidak ada yang mengatakan aku jelek, tapi pandangan mereka yang meanarik diri mereka yang membuat aku yakin bahwa mereka beranggapan bahwa aku tidak pintar dan sedikit nakal, dalam artian anak sekolah.
Ketika pelajaran matematika, mata pelajaran kesusakaanku, kami diberi beberapa soal untuk dikerjakan. aku dengan tekun dan teliti mengerjakan soal itu. Kelompok murid terbelakang, duduk paling belakang, tidak ada yang bertanya tentang bagaimana cara soal itu dikerjakan (karena mengira diriku tidak pintar).
“kamu bisa? Cepet banget kamu ngerjainnya?” kata Endang, teman sebangkuku.
“ini mah gampang, atuh.” Jawabku dengan yakin.
“hebat euy, dikira tuh, kamu ga bisa apa-apa.” Sambil tertawa dan menyalin hasil kerjaanku.
Pikirku “udah nyontek, pake menghina lagi. Untung badannya gede, jadi gua ga berani”
Dari sana siswa-siswa terbelakang mulai mendekatiku. Bisa dimafaatin nih bocah, aku yakin mereka berpikir seperti itu.
“ya Allah, giliran dapet temen kaya gini, sabar” gerutuku dalam hati sambil terus menyelesaikan soal.
Tanpa banyak bergaul dengan teman sekelas yang lain, yang jumlahnya 42 orang satu kelas, aku terus bergelut dengan pelajaran. Fokusku yang penting belajar sama sekolah. Walaupun kadang aku ngobrol dengan teman-teman yang lain tapi cuman sekedar sapaan. Pulang tnggal pulang tanpa banyak kegiatan yang kulakukan. Sebenarnya di kelas ada teman satu SD namun, aku pikir kita beda kasta, jadi kalo ngobrol tuh kadang ga nyambung. Mereka ngomongnya soal maen sama gaul ke luar, sedangkan aku hanya diam di rumah.
Masa sekolah sudah berjalan tiga bulan. Kami pun dapat UTS (ujian tengah semester) ganjil. Dan pengumuman hasilnya hari ini. Yang lucu adalah tidak ada perasaan apupun soal prestasi atau mengejar rangking kelas yang penting sekolah itu pikiranku. Ketika wali kelas kami mengumumkan urutan rangking, aku tidak penasaran berapa rangkingku nanti, beliau berkata, “baik, kita umumkan yang rangking pertama adalah Apandi, tepuk tangan!”
Deg, perasaanku sedikit aneh tak percaya campur senang sekali. Semua anak kelas 1.2 memandangiku seolah tidak percaya.
“Pandi, hebat euy. Ga nyangka.” Begitu kata teman-temanku.
“euh, iya. Terima kasih.” Jawabku dengan malu dan wajah memerah, walaupun mukaku item. Tetap saja terasa merah. 
“mana sih yang namanya Apandi teh?” celetuk seorang siswi di kelasku. Namanya Neng Lilis, pasti ku kenal.
“hah? tiga bulan sekolah, 6 hari dalam seminggu, 7 jam dalam sehari, dia masih nanya, Raihan tuh yang mana” pikirku dalam hati sambil sedikit kesal.
Bayangkan, kita sekolah bertemu setiap hari tapi ada siswa yang sampai tidak mengenal teman sekelasnya. Dari sana aku yakin bahwa selama ini mereka tidak menganggap orang dari kepandaiannya, tapi mereka lebih melihat seseorang dari fisiknya saja. Aku sampai tidak habis pikir, tapi aku tidakterlalu menghiraukan omongan itu. Setelah itu aku langsung memaafkan mereka semua. Mengingat hal tersebut wajar karena mukaku yang terlihat bengis.
Setelah mereka tahu bahwa aku pintar barulah aku lebih dianggap sebagai siswa di kelas tersebut, memang sebelumnya aku dianggap apa. Mereka semua mulai mengenalku dan mau mengajakku jika ada kegiatan diskusi.
“pandi, kamu masuk grup kita ya, biar bisa bagus diskusinya.” Teriak Neng Lilis.
“ehm, emang giliran ada mauya aja, semua pada nganggep!” gumamku dalam hati.
Aku mulai pindah tempat duduk dari terbelakang menjadi terdepan. Dan aku mampu mempertahankan prestasiku sampai setahun penuh. Kami mulai saling bergaul, main bareng dan kerja kelompok bergantian di rumah yang satu ke rumah yang lain.
Mungkin sekarang, perlakuan mereka dianggap mem-bully tapi itu jika kita menanggapinya, tapi jika kita menganggapnya motivasi untuk ajang pembuktian diri, aku rasa ada bagusnya. Mereka tidakakan menganggap sebelah mataterhadap kitaasal kita kuat dan mau berubah dan berkembang. Aku sangat senang ditambahkan lagi, siswi yang dulunya mengatakan “mana sih yang namanya Apandi tuh?” sekarang menjadi temanku dan sahabatku terbaikku.
Aku akhirnya naik ke kelas dua. Apa yang terjadi di kelas itu adalah perlakuan yang sama yang kudapat ketika aku pertama kali masuk kelas satu.
“kira-kira bisa dapet rangking berapa ya sekarang?” tanyaku dalam hati.
“ehm, tantangan lagi deh”
“aku benar-benar tidak populer”
Sekian.




Thursday, April 26, 2018

Cerita Pendek : Menanam Kebaikan


Cerita Pendek (Cerpen) kali ini mengisahkan sebuah keluarga. kasih masukan ya, kira-kira apa yang kurang.. semoga menjadi inspirasi.

Menanam Kebaikan
Oleh: Apandi

“Deni, bangun! Ayo shalat subuh! Giliran shalat subuh selalu kesiangan. Gimana hidup kamu mau bener, bangun aja ga bisa, bangun!” teriak ibuku pada keponakanku yang sekarang sudah kelas dua di sekolah menengah kejuruan.
Teriakan itu sudah kuanggap sebagai alarm bagiku. Beliau tidak perlu membangunkanku, hanya perlu berteriak kepada keponakanku saja sudah membuat telingku perih. Alarm alami ini berdering setiap pagi. Aku bangun dengan sedikit lemah, akibat kebiasaan gadangku yang semakin parah setiap harinya.
Ibuku tidak berani membangunkanku. Entahlah, mungkin dengan berteriak, setidaknya tidak secara langsung padaku. Selepas shalat subuh, aku kembali berbaring. Keponakanku tampak tidak betah di rumah namun bagi dia tidak memiliki pilihan selain ikut bersama neneknya. Ayahnya bercerai setelah beberapa tahun hubungan rumah tangga yang dipenuhi oleh pertengkaran hebat sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Anak memang selalu menjadi korban keputusan orang tua yang sering dianggapnya untuk kebaikan bersama. Tapi tetap yang menjadi korban adalah anak.
Ibuku sendiri tidak memiliki pilihan. Pertama ia adalah seorang single fighter, single parent setelah ditinggalkan ayahku 20 tahun yang lalu. Dia kini harus mengurusku dan juga cucunya.
Hasil didikan ibuku memang berhasil. Walaupun dengan kondisi yang begitu keras, aku dan juga keponakanku tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Begitu banyak tekanan perasaan yang menyelimuti ibuku. Terkadang aku melihat ibu dengan air mata di atas sajadah. Mendo’akan diriku berhasil dan mapan dalam hidup. Akupun terkadang ikut menangis melihat ibuku yang hanya seorang diri berusaha membuatku jauh lebih baik.
Kami hanya tinggal bertiga, aku sudah bekerja menjadi penjaga toko. Hampir empat tahun aku bekerja di sana meskipun terpaksa. Mengingat apalagi yang bisa aku lakukan. Lulusan SMA yang tidak mempunyai cukup keterampilan membuatku terpaksa menjadi seorang buruh. Sebenarnya, SMA itu menyiapkan siswanya untuk melanjutkan studi lagi, tanpa adanya praktek dan keterampilan untuk menjalani kehidupan setelah sekolah. Karena akupun tidak punya biaya, lulus SMA sudah menjadi kebanggan buatku.
Ibuku tidak bekerja. Kami memiliki sebuah warung kecil. Menyediakan kebutuhan sehari-hari tetanggaku. Warung itulah yang menjadi sumber penghidupan bagi ibuku. Aku lulus SMA pun berkat adanya warung tersebut. Namun, ingin sekali aku membantu ibuku dengan tidak membuatnya harus menjaga warung lagi. Ibuku tidak pernah terdengar mengeluh, yang kudengar hanya do’a dan harapan buat aku, kakakku dan cucunya.
Beberapa bulan setelah kenaikan kelas tiga keponakanku, ibuku mulai sering sakit, mulai dari batuk-batuk sampai terlihat seperti kelelahan. Deni, setiap pulang sekolah membantu ibuku menjaga warung. Karena Deni sudah selesai PKL (Praktek Kerja Lapangan) di sebuah bengkel beberapa hari yag lalu, ia banyak memiliki waktu luang.
Hari itu, pulang kerja aku tidak menemui ibuku di warung, beliau sedang istirahat. Itu aku ketahui setelah Deni memberitahuku. Aku langsung menemui ibuku di dalam kamarnya. Aku sarankan untuk pergi ke dokter, tapi ibuku mengatakan dia baik-baik saja. Hanya sedikit kecapaian, sudah tua, begitu katanya. Akupun meyetujui dan membiarkan ibuku istirahat setelah minum obat warung untuk batuknya.
Tanpa adanya orang yang menemani hidupnya, ibuku berjuang sendirian. Sendirian sejak aku berumur lima tahun sampai sekarang. Yang bisa aku lakukan adalah terus merawat dan menemaninya. Pernah ibuku menanyakan tentang pacarku yang hanya sekali aku bawa untuk menemui ibuku. Tapi aku jawab bahwa kami sudah tidak dekat lagi semenjak ia mulai berbicara ke arah pernikahan. Aku sendiri bukan tidak siap, tapi aku belum melakukan apapun untuk setidaknya membuat ibuku percaya kepadaku untuk membina rumah tangga.
Hari demi hari ibuku semakin lemah. Batuknya tak kunjung berhenti. Aku khawatir dan membawanya menemui dokter. Dokter mengatakan hanya kecapaian saja dan perlu istirahat. Tapi batinku mengatakan bukan hanya sekedar kecapaian saja tapi lebih dari itu. Aku diam-diam menelpon kakakku yang tinggal di jakarta. Esok harinya, dia datang dengan suaminya.
Malam itu, aku kembali ke kamarku untuk beristirahat. Sambil mendengarkan radio, aku tertidur di atas ranjangku. Terbangun karena kakakku membangunkanku. Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan, Aku langsung keluar kamar menemui ibuku. seperti mendengar petir yang sangat keras di siang bolong aku melihat kain menutupi seluruh tubuhnya. Aku lemas tak berdaya melihat apa yang kulihat. Hatiku terasa tertimpa balok keras. Lututku terasa tidak bertenaga, tdak kuasa, aku coba menahan air mataku agar tidak jatuh, tapi sia-sia. Air mataku deras keluar dari kedua mataku. Kakakku memelukku dan dia tahu persis betapa aku sangat kehilangan.
Aku membasuh air mata dengan air wudhu. Setelah itu, aku langsung duduk sambil membaca ayat suci Al Qur’an di samping tubuh ibuku yang berkujur kaku. Aku tidak bisa menahan lagi, yang bisa kulakukan hanya mendoakan ibuku agar tenang di sisi tuhan.
Sepeninggal ibuku aku kini tinggal berdua bersama keponakanku, Deni. Deni yang sejak hari kepergian ibuku menjadi lebih pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Sekali waktu aku mengobrol dengan dia mengatakan bahwa kita tidak bisa melawan takdir, yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan potensi kita. Itu yang ibuku katakan malam sebelum beliau meninggal. Kakakku tinggal sementara bersamaku sampai 40 harinya ibuku. Kemudian dia kembali ke Jakarta. Setelah lulus SMK, Deni ikut bersama bibinya di Jakarta dan dapat pekerjaan menjadi seorang montir di sebuah bengkek kenalan suami kakakku.  
Kini aku tinggal sendiri di rumah yang banyak menyimpan kenangan bersama ibuku. Selepas ibuku pergi, warung yang dulu yang menghidupiku dan ibuku aku tutup. Aku berpikir, karena tidak ada yang menjaga dan tidak ada yang akan belanja untuk mengisi warung, maka aku putuskan untuk ditutup saja. Ajaran yang diajarkan oleh beliau masih terbekas, bukan dengan ceramah, buakan dengan omelan, tapi beliau mengajarkan kelembutn dengan memberi teladan dan keikhlasan dalam berbuat. Beliau menanamkan hal-hal positif setiap hari pada diriku sehingga alhamdulillah, ketika beliau pergi aku sangat ikhlas. Seperti pepatah, jika kita menanam cabe, maka tentu akan tumbuh menjadi cabe. Jika kita menanam hal hade (baik) maka tentu kita akan menuai kebaikan pula.

 sekian.

Wednesday, April 25, 2018

Cerita Pendek Pengalaman Pribadi : Masa lalu tidak penting


Cerita pendek kali ini beda nih. Kali ini saa mau berbagi cerita inspiraif dari teman saya. pertemuan yang langka, namun memiliki kesan yang mendalam. itu yang saa rasakan. Tinggalkan komentar agar bisa semakin bagus dan berkembang. yuk berbagi inspirasi.



Masa lalu tidak penting
Oleh: Apandi
Sore itu seperti hari-hari biasanya aku istirahat waktu jedaku untuk shalat maghrib. Karena seperti biasa aku harus memberi bimbel kepada siswaku door to door. Setiap hari, senin sampai jumat aku bolak balik ke rumah siswaku untuk bimbel. Ada 3 siswa hari ini, jadi setelah maghrib masih ada satu rumah yang harus kusambangi. Aku langsung masuk ke tempat parkir masjid yang sering kusinggahi untuk shalat maghrib. Seperti biasa pula aku tanpa melihat sekeliling langsung mengambil air wudhu dan shalat.
Ada satu pemandangan yang memang biasa kutemui setiap kamis malam di masjid itu, yaitu selepas maghrib, pasti ada sedikit keramaian seperti selesai pengajian rutin. Aku melaksanakan shalat magrib sendiri, karena memang sudah setengah 7, jadi shalat berjamaah tertinggal. Selepas shalat, pemandangan lain kutangkap. Seorang laki-laki sedang membersihkan masjid bekas pengajian tadi. Dan setelah kulihat ternyata dia adalah teman satu sekolah di smp ku dulu. Aku beranikan menyapa, kenapa kuberanikan menyapa karena dulu aku sangat ketakutan pada laki-laki ini. “Kang Tony?”  begitu aku sapa. Aku termasuk orang yang mudah ingat dan juga ingatanku  kuat soal nama dan wajah, jadi aku yakin bahwa dia adalah teman satu sekolaku dulu.
“Eh,kang.. gimana kabarnya?” Saya tanya, dia menjawab dengan lembut dan santun “ alhamdulillah, masya Allah, ketemu lagi setelah hampir 12 tahun, dia berkata seolah-olah kita teman dekat dan pernah saling sapa ketika smp dulu. Padahal aku hanya tahu dia karena memang dia termasuk siswa cukup terkenal karena termasuk siswa bengal di sekolah, makanya aku beranikan bertanya.
Ternyata, waktu merubah semuanya. Dan masya Allah, sungguh tenang, santun dan lembut sekali ketika mengobrol dengan temanku yang luar biasa ini.
Kami ngobrol sebentar karena aku harus bergegas ke rumah siswaku, jadi kami berpisah. Dalam benakku bertanya kepada diriku sendiri, aku yang sebetulnya tidak terlalu bandel, tapi kehidupan kerohanianku sungguh tidak berubah. Tetapi, orang yang kupikir bandel akan mempengaruhi kehidupannya ternyata terbanding terbalik dengan dugaanku. Masya Allah, sungguh Allah Maha Tahu dan Maha Kuasa atas apa yang diciptakanNya.
Aku belajar satu hal yang sangat penting, bagaimanapun hidup kita di masa lalu tidak menjadi persoalan, yang jadi persoalan adalah tujuan kita ke depan mau menjadi apa. Semoga Allah mempertemukan aku dengan orang-orang yang luar biasa seperti itu.
Sekian.

Tuesday, April 24, 2018

Cerita Pendek


Hanya itu yang Bisa Dilakukan
Oleh:  Apandi

Rudi adalah seorang pemuda yang biasa dari keluarga yang biasa dengan kehidupan yang biasa. Karena sudah biasa, sehingga dia menjadi pemuda yang tidak terlalu istimewa.
Kehidupan yang dia rasa cukup beruntung ternyata memang tidak seberuntung harapannya. Lahir dari keluarga yang broken home, ditinggal pergi ayahnya ketika berumur 1 tahun. Sempat tinggal bersama ibu tirinya, namun tidak terurus dengan baik, akhirnya kehidupan jauh lebih baik setelah dijemput oleh sepupunya untuk tinggal bersama ibunya kembali.
Rudi merupakan anak terakhir dari lima bersaudara. Umur 6 tahun harus tinggal bersama nenek dan kakeknya karena ibunya harus pergi ke jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Pulang hanya setahun sekali pada waktu libur lebaran. Dan momen itu yang sangat dinanti oleh Rudi, karena hanya waktu lebaran lah ia merasa bahwa dia seorang anak yang memiliki ibu.
Setelah kakek dan neneknya meninggal waktu Rudi kelas satu SMA, jelas, kehidupanya jadi berubah. Ia tinggal berdua dengan kakak ketiganya yang bekerja hanya mencuci mobil di rumah peninggalan kakeknya, sementara ibunya masih bekerja sebagai asisten rumah tangga walaupun dengan majikan yang berbeda dengan majikan yang awal.
Hidup sebagai siswa SMA yan penuh dengan drama, tapi di sisi kehidupannya Rudi sadar bahwa ia harus sekolah, mengingat semua kakaknya tidak ada yang sekolah, semuanya hanya sampai sekolah dasar. Dan rudi memaksa untuk lanjut sekolah karena dia melihat kehidupan keluarga yang jauh dari kata layak. Rudi merasa beruntung karena ketika ia mengatakan bahwa ia ingin sekolah ibunya setuju. Dan ketika ia mendaftar SMA, ia daftar di SMA favorit di daerah tempat tinggalnya. Jaraknya cukup jauh, naik angkotpun harus dua kali. Ibunya menyarankan sekolah di tempat yang dekat, jadi tidak harus keluar ongkos, cukup dengan jalan kaki. Rudi akhirnya masuk ke SMA negeri terkenal dengan tidak terduga. Dia tidak terpikir untuk sekolah disana karena mengingat biaya ongkos yang pasti ibunya keberatan. Umumnya keluarga pasti bangga anaknya diterima di SMA negeri seperti itu, namun hal pertama yang ditanyakan oleh ibunya adalah berapa ongkos kesana.
Karena sudah diterima di sekolah tersebut, akhirnya mau tidak mau harus dilanjutkan, dengan kesepakatan kakaknya yang bertanggung jawab masalah ongkos sehari-hari. Rudi berharap dengan sekolah di sana  dia bisa memperbaiki kehidupan dirinya dan keluarganya di masa depan. Sehari-hari, ongkos untuk sekolah ditanggung oleh kakaknya, jadi Rudi tidak usah khawatir dan bisa fokus sekolah.
Rudi bukan anak yang istimewa yang dibekali oleh berbagai keterampilan, mungkin keterampilan yang dimilikinya hanya bersekolah dan belajar. Dia tidak memiliki kemampuan berdagang, walaupun waktu ada acara 17 Agustusan di kampung waktu SD, ia berjualan es campur milik tetangganya. Kemudian,selain itu, waktu SD setiap minggu ia membantu tetangganya membersihkan rumah walaupun hanya dengan upah makan siang. Jadi kemampuan Rudi hanya bersekolah. Sehari-hari mengandalkan uang ongkos dari kakaknya, rudi tetap semangat bersekolah.
Suatu hari Rabu yang cerah, Rudi bersiap beragkat sekolah karena dia tidak pernah bolos sekolah. Hanya sehari saja Rudi bolos sekolah waktu ia di kelas satu waktu kakeknya meninggal dunia. Sekarang ia kelas dua SMA. Dengan semangat seperti biasanya, dia menyiapkan semuanya. Sudah bersiap berangkat, dia melihat kakakya sedang duduk di kursi ruang tamu, dengan ragu-ragu Rudi meminta uang ongkos karena dia tidak melihatnya di atas televisi seperti biasanya. Dengan perasaan yang seperti ketakutan Rudi memberanikan diri meminta, namun tidak seperti biasanya. Kali ini dengan perasaan yang tidak Rudi pahami, kakaknya berkata “hari ini tidak usah sekolah, tidak ada uang!”
Tanpa berkata-kata apupun, Rudi masuk ke kamarnya sambil menelan kekecewaan bahwa hari ini dia tidak sekolah. Bagi orang lain, mungkin perasaan ini sudah biasa ataupun tidak dianggap hal yang luar biasa. Tapi bagi Rudi yang keinginannya hanya sekolah, hari itu merupakan hari yang berat. Tidak bisa diterima oleh perasaannya yang lembut.
Hatinya bertambah sedih, setelah ia mendengar suara kaca jendela pecah yang dilempar cangkir kopi milik kakaknya. Rudi dengan penuh ketakutan berdiam diri di dalam kamarnya. Perasaannya campur aduk, apa yang seharusnya dilakukannya. Mustahil untuk berhenti sekolah, tidak, Rudi sama sekali tidak akan pernah berpikir untuk berhenti sekolah hanya gara-gara satu hari tidak dapat ongkos.
Pagi itu terasa berat bagi Rudi. Dengan perasaan yang mungkin hanya dipahami oleh dirinya sendiri, Rudi menangis. Bukan karena dia ingin sekolah tapi dia merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Dia tidak bisa melakukan apupun untuk membuatnya berangkat sekolah karena dia hanya mengandalkan pemberian dari kakaknya. Ia merasa menjadi beban untuk keluarganya yang sebenanya tidak mampu menyekolahkan dirinya. Tapi berpikir kembali, apa yang akan terjadi di masa depan jika ia tidak menyelesaikan sekolah. Apakah ia harus menjadi buruh cuci mobil serabutan. Bertani ia tidak bisa, lahanpun tidak ada karena dia tidak berasal dari orang tua yang memiliki lahan lebih selain rumah kecil peninggalan kakeknya. Rudi berpikir bagaimana caranya dia bisa selesai sekolah, dengan prestasi yang baik namun dengan ongkos yang minim agar tidak terjadi pelemparan kaca jendela rumah dengan cangkir kopi ketika hendak berangkat sekolah.
Air mata diusap, baju yang sudah berganti, Rudi bangun dan keluar dari kamar. Dia pergi ke dapur, bersih bersih rumah, mencuci apa yang ada di dapur. Karena itu hal yang bisa dilakukan untuk hari ini, dia hanya berharap besok adalah hari yang berbeda dari hari Rabu ini, hari dengan cara dan harapan yang berbeda. Hanya itu yang bisa dia lakukan.
...





Friday, April 6, 2018

Perbedaan in time dan on time

in time or on time?
Pelajaran bahasa Inggris bisa sangat frustrating, walaupun ga semua orang mengalaminya. Dalam bahasa Inggris sering kita menemukan kata atau frase yang hampir sama namun memiliki arti yang jauh. Walaupun masih terdengar mirip tapi jika diartika akan berbeda makna dan penggunaannya.
Kali ini saya bahas yang ringan saja yaitu, apa sih perbedaan dan penggunaan frase in time dan on time?
Sering banget kan denger frase itu?
Artinya sama ga sih?
Kita pake on time ato in time kalo ngomong?

Yuk kita bahas...
ON TIME
On time jika diartikan kedalam bahasa Indonesia artinya tepat waktu. Tepat waktu di sini dalam artian tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah disepakati. contohnya, kita janjian sama temen jam 9 pagi. nah, kita datang jam 9 pas, maka bisa dikatakan on time.
Contoh percakapannya
Lilis : Dea, English class tomorrow will start at 8 o'clock. make sure that you will come on time.
        (Dea, besok kelas Bahasa Inggris akan dimulai jam 8 pas, pastikan kamu datang tepat waktu!)
Dea : OK, i'll be there on time.
         (Oke, saya akan hadir tepat waktu)
paham yah?

IN TIME
In time diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu pada waktunya. Waktu yang dimaksud memang belum jelas dan belum disepakati namun ketika kita memakai ini, maka kita bisa mengartikan nya nanti pada waktunya akan kejadian juga.
Contoh situasinya begini, kita akan bahagia pada waktunya (in time), tidak kesepakatan waktu untuk merasa bahagia pada kalimat itu, namun nanti juga akan bahagia. Begitu penjelasannya.
contoh percakapannya:

Udin      : When do you think of having a new house?
               (Kapan kamu berpikir memiliki sebuah rumah?)
Dahlan   : I don't know. my money is not enough. but i am sure, I will have my own house in time.
               (Saya tidak tahu. Uang saya tidak cukup. tapi saya yakin saya akan memiliki rumah saya sendiri pada waktunya)

sudah paham kan? 
kesimpulanya on time itu tepat waktu, sedangkan in time pada waktunya.

Semoga bermanfaat. Silahkan isi kolom komentar jika ada pertanyaan.