Friday, April 27, 2018

Cerita Pendek : Aku Tidak Populer


Perilaku yang diperbuat dan kata-kata yang diucapkan terkadang bisa diartikan berbeda. Cerita ini saya ambil dari pengalaman yang pernah terjadi waktu saya masih sekolah. Apapun itu, seharusnya tetap pada niat awal yaitu belajar dan belajar. semoga bermanfaat ya..

Aku Tidak Populer
Oleh: Apandi

Aku tidak populer. Badanku tidak tinggi, dan juga tidak terbilang proporsional. Kadang ada yang menyebutku pendekar – pendek dan kekar, karena aku sangat menyukai lari dan olah raga, juga nonton film jackie chan. Orang banyak menilaiku dari segi fisik. Mereka mengatakan mukaku seram, bengis, seperti anak nakal atau mungkin anak berandal.
Pakaian yang kukenakan juga bukan barang mahal, kebanyakan pakaian bekas kakakku yang tidak dipaka. Bagiku itu pakaian baru. Kecuali seragam sekolah yang bukan bekas, aku meminta ibuku untukmembeli bahan dan menjahitnya.
Aku memiliki banyak teman, walaupun mungkin mereka hanya memanfaatkan kepandaianku di sekolah. Waktu sekolah dasar saja pernah ada yang sengaja memintaku mengerjakan pr-nya lalu aku diberi upah. Kami sempat dekat ketika ada tugas sekolah, tapi ketika tidak ada tugas, rasanya aku tidak bisa dibilang sebagai temannya.
Ketika SMP, aku banyak dekat dengan beberapa teman, yang lagi-lagi mendekatiku jika banyak tugas diskusi dan tugas sekolah, itupun bukan dari siswa yang populer. Aku dekat dengan siswa-siswa menengah ke bawah, dari segi nilai, karena aku orang yang bisa diandalkan. Ketika ada acara apupun, tidak jarang aku tidak dilibatkan. Karena memang bukan tugas sekolah, jadi mau gimana lagi. Kalo liburan, terkadang aku hanya diam di rumah karena pelayananku tidak dibutuhkan, kecuali ada tugas sekolah. Aku adalah anak rumahan. Boleh dibilang begitu.
Waktu aku baru masuk SMA, orang-orang tampak asing buatku. Semuanya dari latar belakang yang berbeda. Dan semuanya membuatku tercengang, aku tidak sendirian dan tidak semua orang tua itu kerjanya tani. Setidaknya waktu SD hampir semua teman-temanku orang tuanya bekerja sebagai petani. Cukup polos aku dengan pemikiran sedangkal itu.
Sekolahku merupakan sekolah terkenal, bahkan banyak yang mengatakan bahwa sekolahku adalah sekolah model, siswa-siswi nya cantik-cantik dan ganteng-ganteng begitu mereka bilang. Karena aku orang yang jenaka, aku dengan mudah mendapat teman, setidaknya teman yang memiliki selera humor setinggi aku.
Pertama kali masuk kelas baru setelah pembagian kelas, aku duduk di barisan paling belakang. Teman-teman sekelasku semua langsung menempati bangku pilihannya dan posisi piliha mereka sesuai dengan kasta atau geng mereka mungkin. Hanya ada kursi kosong di barisan paling belakang yang nampaknya akan menjadi tempatku nanti. Aku mengatakan pada diriku bahwa aku anak yang terbelakang. Duduk paling belakang, maka kukatakan terbelakang. Bisa dibayangkan siswa yang memilih untuk duduk di depan biasanya siswa yang baik dalam hal prestasi, tapi orang yang duduk di belakang biasanya memiliki kemampuan yang kurang. Begitu kah? Aku rasa tidak.
“Tidak apa-apalah selama masih sekolah, asal jangan nangkel aja di pintu, emangnya di angkot ga kebagian tempat duduk” pikirku.
Duduk di belakang membuatku sedikit tersiksa, hal pertama yang kudapat adalah susahnya akses ke sumber ilmu yaitu guru, setidaknya karena aku tidak memiliki buku. Dikerumuni siswa yang kerjanya hanya nyontek dan mengobrol. Tapi ada satu hal yang menarik, karena mereka melihat dan mempertimbangkan wajahku, jadi mereka beranggapan bahwa aku tidak terlalu pintar. Jadi mereka sama sekali tidak menyontek hasil kerjaanku karena mereka tidak percaya bahwa aku bisa memahami pelajaran aapun. Tidak ada yang mengatakan aku jelek, tapi pandangan mereka yang meanarik diri mereka yang membuat aku yakin bahwa mereka beranggapan bahwa aku tidak pintar dan sedikit nakal, dalam artian anak sekolah.
Ketika pelajaran matematika, mata pelajaran kesusakaanku, kami diberi beberapa soal untuk dikerjakan. aku dengan tekun dan teliti mengerjakan soal itu. Kelompok murid terbelakang, duduk paling belakang, tidak ada yang bertanya tentang bagaimana cara soal itu dikerjakan (karena mengira diriku tidak pintar).
“kamu bisa? Cepet banget kamu ngerjainnya?” kata Endang, teman sebangkuku.
“ini mah gampang, atuh.” Jawabku dengan yakin.
“hebat euy, dikira tuh, kamu ga bisa apa-apa.” Sambil tertawa dan menyalin hasil kerjaanku.
Pikirku “udah nyontek, pake menghina lagi. Untung badannya gede, jadi gua ga berani”
Dari sana siswa-siswa terbelakang mulai mendekatiku. Bisa dimafaatin nih bocah, aku yakin mereka berpikir seperti itu.
“ya Allah, giliran dapet temen kaya gini, sabar” gerutuku dalam hati sambil terus menyelesaikan soal.
Tanpa banyak bergaul dengan teman sekelas yang lain, yang jumlahnya 42 orang satu kelas, aku terus bergelut dengan pelajaran. Fokusku yang penting belajar sama sekolah. Walaupun kadang aku ngobrol dengan teman-teman yang lain tapi cuman sekedar sapaan. Pulang tnggal pulang tanpa banyak kegiatan yang kulakukan. Sebenarnya di kelas ada teman satu SD namun, aku pikir kita beda kasta, jadi kalo ngobrol tuh kadang ga nyambung. Mereka ngomongnya soal maen sama gaul ke luar, sedangkan aku hanya diam di rumah.
Masa sekolah sudah berjalan tiga bulan. Kami pun dapat UTS (ujian tengah semester) ganjil. Dan pengumuman hasilnya hari ini. Yang lucu adalah tidak ada perasaan apupun soal prestasi atau mengejar rangking kelas yang penting sekolah itu pikiranku. Ketika wali kelas kami mengumumkan urutan rangking, aku tidak penasaran berapa rangkingku nanti, beliau berkata, “baik, kita umumkan yang rangking pertama adalah Apandi, tepuk tangan!”
Deg, perasaanku sedikit aneh tak percaya campur senang sekali. Semua anak kelas 1.2 memandangiku seolah tidak percaya.
“Pandi, hebat euy. Ga nyangka.” Begitu kata teman-temanku.
“euh, iya. Terima kasih.” Jawabku dengan malu dan wajah memerah, walaupun mukaku item. Tetap saja terasa merah. 
“mana sih yang namanya Apandi teh?” celetuk seorang siswi di kelasku. Namanya Neng Lilis, pasti ku kenal.
“hah? tiga bulan sekolah, 6 hari dalam seminggu, 7 jam dalam sehari, dia masih nanya, Raihan tuh yang mana” pikirku dalam hati sambil sedikit kesal.
Bayangkan, kita sekolah bertemu setiap hari tapi ada siswa yang sampai tidak mengenal teman sekelasnya. Dari sana aku yakin bahwa selama ini mereka tidak menganggap orang dari kepandaiannya, tapi mereka lebih melihat seseorang dari fisiknya saja. Aku sampai tidak habis pikir, tapi aku tidakterlalu menghiraukan omongan itu. Setelah itu aku langsung memaafkan mereka semua. Mengingat hal tersebut wajar karena mukaku yang terlihat bengis.
Setelah mereka tahu bahwa aku pintar barulah aku lebih dianggap sebagai siswa di kelas tersebut, memang sebelumnya aku dianggap apa. Mereka semua mulai mengenalku dan mau mengajakku jika ada kegiatan diskusi.
“pandi, kamu masuk grup kita ya, biar bisa bagus diskusinya.” Teriak Neng Lilis.
“ehm, emang giliran ada mauya aja, semua pada nganggep!” gumamku dalam hati.
Aku mulai pindah tempat duduk dari terbelakang menjadi terdepan. Dan aku mampu mempertahankan prestasiku sampai setahun penuh. Kami mulai saling bergaul, main bareng dan kerja kelompok bergantian di rumah yang satu ke rumah yang lain.
Mungkin sekarang, perlakuan mereka dianggap mem-bully tapi itu jika kita menanggapinya, tapi jika kita menganggapnya motivasi untuk ajang pembuktian diri, aku rasa ada bagusnya. Mereka tidakakan menganggap sebelah mataterhadap kitaasal kita kuat dan mau berubah dan berkembang. Aku sangat senang ditambahkan lagi, siswi yang dulunya mengatakan “mana sih yang namanya Apandi tuh?” sekarang menjadi temanku dan sahabatku terbaikku.
Aku akhirnya naik ke kelas dua. Apa yang terjadi di kelas itu adalah perlakuan yang sama yang kudapat ketika aku pertama kali masuk kelas satu.
“kira-kira bisa dapet rangking berapa ya sekarang?” tanyaku dalam hati.
“ehm, tantangan lagi deh”
“aku benar-benar tidak populer”
Sekian.




0 komentar:

Post a Comment