Cerita Pendek (Cerpen) kali ini mengisahkan sebuah keluarga. kasih masukan ya, kira-kira apa yang kurang.. semoga menjadi inspirasi.
Menanam Kebaikan
Oleh: Apandi
“Deni, bangun! Ayo shalat subuh! Giliran shalat subuh selalu
kesiangan. Gimana hidup kamu mau bener, bangun aja ga bisa, bangun!” teriak
ibuku pada keponakanku yang sekarang sudah kelas dua di sekolah menengah
kejuruan.
Teriakan itu sudah kuanggap sebagai alarm bagiku. Beliau tidak perlu membangunkanku, hanya perlu
berteriak kepada keponakanku saja sudah membuat telingku perih. Alarm alami ini
berdering setiap pagi. Aku bangun dengan sedikit lemah, akibat kebiasaan gadangku
yang semakin parah setiap harinya.
Ibuku tidak berani membangunkanku. Entahlah, mungkin dengan
berteriak, setidaknya tidak secara langsung padaku. Selepas shalat subuh, aku kembali
berbaring. Keponakanku tampak tidak betah di rumah namun bagi dia tidak
memiliki pilihan selain ikut bersama neneknya. Ayahnya bercerai setelah
beberapa tahun hubungan rumah tangga yang dipenuhi oleh pertengkaran hebat
sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Anak memang selalu menjadi
korban keputusan orang tua yang sering dianggapnya untuk kebaikan bersama. Tapi
tetap yang menjadi korban adalah anak.
Ibuku sendiri tidak memiliki pilihan. Pertama ia adalah
seorang single fighter, single parent setelah
ditinggalkan ayahku 20 tahun yang lalu. Dia kini harus mengurusku dan juga
cucunya.
Hasil didikan ibuku memang berhasil. Walaupun dengan kondisi
yang begitu keras, aku dan juga keponakanku tidak pernah meninggalkan shalat
lima waktu. Begitu banyak tekanan perasaan yang menyelimuti ibuku. Terkadang aku
melihat ibu dengan air mata di atas sajadah. Mendo’akan diriku berhasil dan mapan
dalam hidup. Akupun terkadang ikut menangis melihat ibuku yang hanya seorang
diri berusaha membuatku jauh lebih baik.
Kami hanya tinggal bertiga, aku sudah bekerja menjadi penjaga
toko. Hampir empat tahun aku bekerja di sana meskipun terpaksa. Mengingat
apalagi yang bisa aku lakukan. Lulusan SMA yang tidak mempunyai cukup
keterampilan membuatku terpaksa menjadi seorang buruh. Sebenarnya, SMA itu
menyiapkan siswanya untuk melanjutkan studi lagi, tanpa adanya praktek dan keterampilan
untuk menjalani kehidupan setelah sekolah. Karena akupun tidak punya biaya,
lulus SMA sudah menjadi kebanggan buatku.
Ibuku tidak bekerja. Kami memiliki sebuah warung kecil.
Menyediakan kebutuhan sehari-hari tetanggaku. Warung itulah yang menjadi sumber
penghidupan bagi ibuku. Aku lulus SMA pun berkat adanya warung tersebut. Namun,
ingin sekali aku membantu ibuku dengan tidak membuatnya harus menjaga warung
lagi. Ibuku tidak pernah terdengar mengeluh, yang kudengar hanya do’a dan
harapan buat aku, kakakku dan cucunya.
Beberapa bulan setelah kenaikan kelas tiga keponakanku, ibuku
mulai sering sakit, mulai dari batuk-batuk sampai terlihat seperti kelelahan. Deni,
setiap pulang sekolah membantu ibuku menjaga warung. Karena Deni sudah selesai
PKL (Praktek Kerja Lapangan) di sebuah bengkel beberapa hari yag lalu, ia
banyak memiliki waktu luang.
Hari itu, pulang kerja aku tidak menemui ibuku di warung,
beliau sedang istirahat. Itu aku ketahui setelah Deni memberitahuku. Aku langsung
menemui ibuku di dalam kamarnya. Aku sarankan untuk pergi ke dokter, tapi ibuku
mengatakan dia baik-baik saja. Hanya sedikit kecapaian, sudah tua, begitu
katanya. Akupun meyetujui dan membiarkan ibuku istirahat setelah minum obat
warung untuk batuknya.
Tanpa adanya orang yang menemani hidupnya, ibuku berjuang
sendirian. Sendirian sejak aku berumur lima tahun sampai sekarang. Yang bisa
aku lakukan adalah terus merawat dan menemaninya. Pernah ibuku menanyakan
tentang pacarku yang hanya sekali aku bawa untuk menemui ibuku. Tapi aku jawab bahwa
kami sudah tidak dekat lagi semenjak ia mulai berbicara ke arah pernikahan. Aku
sendiri bukan tidak siap, tapi aku belum melakukan apapun untuk setidaknya
membuat ibuku percaya kepadaku untuk membina rumah tangga.
Hari demi hari ibuku semakin lemah. Batuknya tak kunjung
berhenti. Aku khawatir dan membawanya menemui dokter. Dokter mengatakan hanya
kecapaian saja dan perlu istirahat. Tapi batinku mengatakan bukan hanya sekedar
kecapaian saja tapi lebih dari itu. Aku diam-diam menelpon kakakku yang tinggal
di jakarta. Esok harinya, dia datang dengan suaminya.
Malam itu, aku kembali ke kamarku untuk beristirahat. Sambil mendengarkan
radio, aku tertidur di atas ranjangku. Terbangun karena kakakku membangunkanku.
Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan, Aku langsung keluar kamar
menemui ibuku. seperti mendengar petir yang sangat keras di siang bolong aku
melihat kain menutupi seluruh tubuhnya. Aku lemas tak berdaya melihat apa yang
kulihat. Hatiku terasa tertimpa balok keras. Lututku terasa tidak bertenaga, tdak
kuasa, aku coba menahan air mataku agar tidak jatuh, tapi sia-sia. Air mataku
deras keluar dari kedua mataku. Kakakku memelukku dan dia tahu persis betapa
aku sangat kehilangan.
Aku membasuh air mata dengan air wudhu. Setelah itu, aku
langsung duduk sambil membaca ayat suci Al Qur’an di samping tubuh ibuku yang
berkujur kaku. Aku tidak bisa menahan lagi, yang bisa kulakukan hanya mendoakan
ibuku agar tenang di sisi tuhan.
Sepeninggal ibuku aku kini tinggal berdua bersama keponakanku,
Deni. Deni yang sejak hari kepergian ibuku menjadi lebih pendiam dan sering
mengurung diri di kamar. Sekali waktu aku mengobrol dengan dia mengatakan bahwa
kita tidak bisa melawan takdir, yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan potensi
kita. Itu yang ibuku katakan malam sebelum beliau meninggal. Kakakku tinggal
sementara bersamaku sampai 40 harinya ibuku. Kemudian dia kembali ke Jakarta. Setelah
lulus SMK, Deni ikut bersama bibinya di Jakarta dan dapat pekerjaan menjadi
seorang montir di sebuah bengkek kenalan suami kakakku.
Kini aku tinggal sendiri di rumah yang banyak menyimpan
kenangan bersama ibuku. Selepas ibuku pergi, warung yang dulu yang menghidupiku
dan ibuku aku tutup. Aku berpikir, karena tidak ada yang menjaga dan tidak ada
yang akan belanja untuk mengisi warung, maka aku putuskan untuk ditutup saja. Ajaran
yang diajarkan oleh beliau masih terbekas, bukan dengan ceramah, buakan dengan
omelan, tapi beliau mengajarkan kelembutn dengan memberi teladan dan keikhlasan
dalam berbuat. Beliau menanamkan hal-hal positif setiap hari pada diriku
sehingga alhamdulillah, ketika beliau pergi aku sangat ikhlas. Seperti pepatah,
jika kita menanam cabe, maka tentu akan tumbuh menjadi cabe. Jika kita menanam
hal hade (baik) maka tentu kita akan
menuai kebaikan pula.
0 komentar:
Post a Comment