Thursday, April 26, 2018

Cerita Pendek : Menanam Kebaikan


Cerita Pendek (Cerpen) kali ini mengisahkan sebuah keluarga. kasih masukan ya, kira-kira apa yang kurang.. semoga menjadi inspirasi.

Menanam Kebaikan
Oleh: Apandi

“Deni, bangun! Ayo shalat subuh! Giliran shalat subuh selalu kesiangan. Gimana hidup kamu mau bener, bangun aja ga bisa, bangun!” teriak ibuku pada keponakanku yang sekarang sudah kelas dua di sekolah menengah kejuruan.
Teriakan itu sudah kuanggap sebagai alarm bagiku. Beliau tidak perlu membangunkanku, hanya perlu berteriak kepada keponakanku saja sudah membuat telingku perih. Alarm alami ini berdering setiap pagi. Aku bangun dengan sedikit lemah, akibat kebiasaan gadangku yang semakin parah setiap harinya.
Ibuku tidak berani membangunkanku. Entahlah, mungkin dengan berteriak, setidaknya tidak secara langsung padaku. Selepas shalat subuh, aku kembali berbaring. Keponakanku tampak tidak betah di rumah namun bagi dia tidak memiliki pilihan selain ikut bersama neneknya. Ayahnya bercerai setelah beberapa tahun hubungan rumah tangga yang dipenuhi oleh pertengkaran hebat sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Anak memang selalu menjadi korban keputusan orang tua yang sering dianggapnya untuk kebaikan bersama. Tapi tetap yang menjadi korban adalah anak.
Ibuku sendiri tidak memiliki pilihan. Pertama ia adalah seorang single fighter, single parent setelah ditinggalkan ayahku 20 tahun yang lalu. Dia kini harus mengurusku dan juga cucunya.
Hasil didikan ibuku memang berhasil. Walaupun dengan kondisi yang begitu keras, aku dan juga keponakanku tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Begitu banyak tekanan perasaan yang menyelimuti ibuku. Terkadang aku melihat ibu dengan air mata di atas sajadah. Mendo’akan diriku berhasil dan mapan dalam hidup. Akupun terkadang ikut menangis melihat ibuku yang hanya seorang diri berusaha membuatku jauh lebih baik.
Kami hanya tinggal bertiga, aku sudah bekerja menjadi penjaga toko. Hampir empat tahun aku bekerja di sana meskipun terpaksa. Mengingat apalagi yang bisa aku lakukan. Lulusan SMA yang tidak mempunyai cukup keterampilan membuatku terpaksa menjadi seorang buruh. Sebenarnya, SMA itu menyiapkan siswanya untuk melanjutkan studi lagi, tanpa adanya praktek dan keterampilan untuk menjalani kehidupan setelah sekolah. Karena akupun tidak punya biaya, lulus SMA sudah menjadi kebanggan buatku.
Ibuku tidak bekerja. Kami memiliki sebuah warung kecil. Menyediakan kebutuhan sehari-hari tetanggaku. Warung itulah yang menjadi sumber penghidupan bagi ibuku. Aku lulus SMA pun berkat adanya warung tersebut. Namun, ingin sekali aku membantu ibuku dengan tidak membuatnya harus menjaga warung lagi. Ibuku tidak pernah terdengar mengeluh, yang kudengar hanya do’a dan harapan buat aku, kakakku dan cucunya.
Beberapa bulan setelah kenaikan kelas tiga keponakanku, ibuku mulai sering sakit, mulai dari batuk-batuk sampai terlihat seperti kelelahan. Deni, setiap pulang sekolah membantu ibuku menjaga warung. Karena Deni sudah selesai PKL (Praktek Kerja Lapangan) di sebuah bengkel beberapa hari yag lalu, ia banyak memiliki waktu luang.
Hari itu, pulang kerja aku tidak menemui ibuku di warung, beliau sedang istirahat. Itu aku ketahui setelah Deni memberitahuku. Aku langsung menemui ibuku di dalam kamarnya. Aku sarankan untuk pergi ke dokter, tapi ibuku mengatakan dia baik-baik saja. Hanya sedikit kecapaian, sudah tua, begitu katanya. Akupun meyetujui dan membiarkan ibuku istirahat setelah minum obat warung untuk batuknya.
Tanpa adanya orang yang menemani hidupnya, ibuku berjuang sendirian. Sendirian sejak aku berumur lima tahun sampai sekarang. Yang bisa aku lakukan adalah terus merawat dan menemaninya. Pernah ibuku menanyakan tentang pacarku yang hanya sekali aku bawa untuk menemui ibuku. Tapi aku jawab bahwa kami sudah tidak dekat lagi semenjak ia mulai berbicara ke arah pernikahan. Aku sendiri bukan tidak siap, tapi aku belum melakukan apapun untuk setidaknya membuat ibuku percaya kepadaku untuk membina rumah tangga.
Hari demi hari ibuku semakin lemah. Batuknya tak kunjung berhenti. Aku khawatir dan membawanya menemui dokter. Dokter mengatakan hanya kecapaian saja dan perlu istirahat. Tapi batinku mengatakan bukan hanya sekedar kecapaian saja tapi lebih dari itu. Aku diam-diam menelpon kakakku yang tinggal di jakarta. Esok harinya, dia datang dengan suaminya.
Malam itu, aku kembali ke kamarku untuk beristirahat. Sambil mendengarkan radio, aku tertidur di atas ranjangku. Terbangun karena kakakku membangunkanku. Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan, Aku langsung keluar kamar menemui ibuku. seperti mendengar petir yang sangat keras di siang bolong aku melihat kain menutupi seluruh tubuhnya. Aku lemas tak berdaya melihat apa yang kulihat. Hatiku terasa tertimpa balok keras. Lututku terasa tidak bertenaga, tdak kuasa, aku coba menahan air mataku agar tidak jatuh, tapi sia-sia. Air mataku deras keluar dari kedua mataku. Kakakku memelukku dan dia tahu persis betapa aku sangat kehilangan.
Aku membasuh air mata dengan air wudhu. Setelah itu, aku langsung duduk sambil membaca ayat suci Al Qur’an di samping tubuh ibuku yang berkujur kaku. Aku tidak bisa menahan lagi, yang bisa kulakukan hanya mendoakan ibuku agar tenang di sisi tuhan.
Sepeninggal ibuku aku kini tinggal berdua bersama keponakanku, Deni. Deni yang sejak hari kepergian ibuku menjadi lebih pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Sekali waktu aku mengobrol dengan dia mengatakan bahwa kita tidak bisa melawan takdir, yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan potensi kita. Itu yang ibuku katakan malam sebelum beliau meninggal. Kakakku tinggal sementara bersamaku sampai 40 harinya ibuku. Kemudian dia kembali ke Jakarta. Setelah lulus SMK, Deni ikut bersama bibinya di Jakarta dan dapat pekerjaan menjadi seorang montir di sebuah bengkek kenalan suami kakakku.  
Kini aku tinggal sendiri di rumah yang banyak menyimpan kenangan bersama ibuku. Selepas ibuku pergi, warung yang dulu yang menghidupiku dan ibuku aku tutup. Aku berpikir, karena tidak ada yang menjaga dan tidak ada yang akan belanja untuk mengisi warung, maka aku putuskan untuk ditutup saja. Ajaran yang diajarkan oleh beliau masih terbekas, bukan dengan ceramah, buakan dengan omelan, tapi beliau mengajarkan kelembutn dengan memberi teladan dan keikhlasan dalam berbuat. Beliau menanamkan hal-hal positif setiap hari pada diriku sehingga alhamdulillah, ketika beliau pergi aku sangat ikhlas. Seperti pepatah, jika kita menanam cabe, maka tentu akan tumbuh menjadi cabe. Jika kita menanam hal hade (baik) maka tentu kita akan menuai kebaikan pula.

 sekian.

0 komentar:

Post a Comment