Tuesday, April 24, 2018

Cerita Pendek


Hanya itu yang Bisa Dilakukan
Oleh:  Apandi

Rudi adalah seorang pemuda yang biasa dari keluarga yang biasa dengan kehidupan yang biasa. Karena sudah biasa, sehingga dia menjadi pemuda yang tidak terlalu istimewa.
Kehidupan yang dia rasa cukup beruntung ternyata memang tidak seberuntung harapannya. Lahir dari keluarga yang broken home, ditinggal pergi ayahnya ketika berumur 1 tahun. Sempat tinggal bersama ibu tirinya, namun tidak terurus dengan baik, akhirnya kehidupan jauh lebih baik setelah dijemput oleh sepupunya untuk tinggal bersama ibunya kembali.
Rudi merupakan anak terakhir dari lima bersaudara. Umur 6 tahun harus tinggal bersama nenek dan kakeknya karena ibunya harus pergi ke jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Pulang hanya setahun sekali pada waktu libur lebaran. Dan momen itu yang sangat dinanti oleh Rudi, karena hanya waktu lebaran lah ia merasa bahwa dia seorang anak yang memiliki ibu.
Setelah kakek dan neneknya meninggal waktu Rudi kelas satu SMA, jelas, kehidupanya jadi berubah. Ia tinggal berdua dengan kakak ketiganya yang bekerja hanya mencuci mobil di rumah peninggalan kakeknya, sementara ibunya masih bekerja sebagai asisten rumah tangga walaupun dengan majikan yang berbeda dengan majikan yang awal.
Hidup sebagai siswa SMA yan penuh dengan drama, tapi di sisi kehidupannya Rudi sadar bahwa ia harus sekolah, mengingat semua kakaknya tidak ada yang sekolah, semuanya hanya sampai sekolah dasar. Dan rudi memaksa untuk lanjut sekolah karena dia melihat kehidupan keluarga yang jauh dari kata layak. Rudi merasa beruntung karena ketika ia mengatakan bahwa ia ingin sekolah ibunya setuju. Dan ketika ia mendaftar SMA, ia daftar di SMA favorit di daerah tempat tinggalnya. Jaraknya cukup jauh, naik angkotpun harus dua kali. Ibunya menyarankan sekolah di tempat yang dekat, jadi tidak harus keluar ongkos, cukup dengan jalan kaki. Rudi akhirnya masuk ke SMA negeri terkenal dengan tidak terduga. Dia tidak terpikir untuk sekolah disana karena mengingat biaya ongkos yang pasti ibunya keberatan. Umumnya keluarga pasti bangga anaknya diterima di SMA negeri seperti itu, namun hal pertama yang ditanyakan oleh ibunya adalah berapa ongkos kesana.
Karena sudah diterima di sekolah tersebut, akhirnya mau tidak mau harus dilanjutkan, dengan kesepakatan kakaknya yang bertanggung jawab masalah ongkos sehari-hari. Rudi berharap dengan sekolah di sana  dia bisa memperbaiki kehidupan dirinya dan keluarganya di masa depan. Sehari-hari, ongkos untuk sekolah ditanggung oleh kakaknya, jadi Rudi tidak usah khawatir dan bisa fokus sekolah.
Rudi bukan anak yang istimewa yang dibekali oleh berbagai keterampilan, mungkin keterampilan yang dimilikinya hanya bersekolah dan belajar. Dia tidak memiliki kemampuan berdagang, walaupun waktu ada acara 17 Agustusan di kampung waktu SD, ia berjualan es campur milik tetangganya. Kemudian,selain itu, waktu SD setiap minggu ia membantu tetangganya membersihkan rumah walaupun hanya dengan upah makan siang. Jadi kemampuan Rudi hanya bersekolah. Sehari-hari mengandalkan uang ongkos dari kakaknya, rudi tetap semangat bersekolah.
Suatu hari Rabu yang cerah, Rudi bersiap beragkat sekolah karena dia tidak pernah bolos sekolah. Hanya sehari saja Rudi bolos sekolah waktu ia di kelas satu waktu kakeknya meninggal dunia. Sekarang ia kelas dua SMA. Dengan semangat seperti biasanya, dia menyiapkan semuanya. Sudah bersiap berangkat, dia melihat kakakya sedang duduk di kursi ruang tamu, dengan ragu-ragu Rudi meminta uang ongkos karena dia tidak melihatnya di atas televisi seperti biasanya. Dengan perasaan yang seperti ketakutan Rudi memberanikan diri meminta, namun tidak seperti biasanya. Kali ini dengan perasaan yang tidak Rudi pahami, kakaknya berkata “hari ini tidak usah sekolah, tidak ada uang!”
Tanpa berkata-kata apupun, Rudi masuk ke kamarnya sambil menelan kekecewaan bahwa hari ini dia tidak sekolah. Bagi orang lain, mungkin perasaan ini sudah biasa ataupun tidak dianggap hal yang luar biasa. Tapi bagi Rudi yang keinginannya hanya sekolah, hari itu merupakan hari yang berat. Tidak bisa diterima oleh perasaannya yang lembut.
Hatinya bertambah sedih, setelah ia mendengar suara kaca jendela pecah yang dilempar cangkir kopi milik kakaknya. Rudi dengan penuh ketakutan berdiam diri di dalam kamarnya. Perasaannya campur aduk, apa yang seharusnya dilakukannya. Mustahil untuk berhenti sekolah, tidak, Rudi sama sekali tidak akan pernah berpikir untuk berhenti sekolah hanya gara-gara satu hari tidak dapat ongkos.
Pagi itu terasa berat bagi Rudi. Dengan perasaan yang mungkin hanya dipahami oleh dirinya sendiri, Rudi menangis. Bukan karena dia ingin sekolah tapi dia merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Dia tidak bisa melakukan apupun untuk membuatnya berangkat sekolah karena dia hanya mengandalkan pemberian dari kakaknya. Ia merasa menjadi beban untuk keluarganya yang sebenanya tidak mampu menyekolahkan dirinya. Tapi berpikir kembali, apa yang akan terjadi di masa depan jika ia tidak menyelesaikan sekolah. Apakah ia harus menjadi buruh cuci mobil serabutan. Bertani ia tidak bisa, lahanpun tidak ada karena dia tidak berasal dari orang tua yang memiliki lahan lebih selain rumah kecil peninggalan kakeknya. Rudi berpikir bagaimana caranya dia bisa selesai sekolah, dengan prestasi yang baik namun dengan ongkos yang minim agar tidak terjadi pelemparan kaca jendela rumah dengan cangkir kopi ketika hendak berangkat sekolah.
Air mata diusap, baju yang sudah berganti, Rudi bangun dan keluar dari kamar. Dia pergi ke dapur, bersih bersih rumah, mencuci apa yang ada di dapur. Karena itu hal yang bisa dilakukan untuk hari ini, dia hanya berharap besok adalah hari yang berbeda dari hari Rabu ini, hari dengan cara dan harapan yang berbeda. Hanya itu yang bisa dia lakukan.
...





0 komentar:

Post a Comment