Hanya itu yang Bisa Dilakukan
Oleh: Apandi
Rudi adalah
seorang pemuda yang biasa dari keluarga yang biasa dengan kehidupan yang biasa.
Karena sudah biasa, sehingga dia menjadi pemuda yang tidak terlalu istimewa.
Kehidupan yang
dia rasa cukup beruntung ternyata memang tidak seberuntung harapannya. Lahir dari
keluarga yang broken home, ditinggal pergi ayahnya ketika berumur 1 tahun.
Sempat tinggal bersama ibu tirinya, namun tidak terurus dengan baik, akhirnya
kehidupan jauh lebih baik setelah dijemput oleh sepupunya untuk tinggal bersama
ibunya kembali.
Rudi merupakan
anak terakhir dari lima bersaudara. Umur 6 tahun harus tinggal bersama nenek
dan kakeknya karena ibunya harus pergi ke jakarta untuk menjadi pembantu rumah
tangga. Pulang hanya setahun sekali pada waktu libur lebaran. Dan momen itu
yang sangat dinanti oleh Rudi, karena hanya waktu lebaran lah ia merasa bahwa
dia seorang anak yang memiliki ibu.
Setelah kakek
dan neneknya meninggal waktu Rudi kelas satu SMA, jelas, kehidupanya jadi
berubah. Ia tinggal berdua dengan kakak ketiganya yang bekerja hanya mencuci
mobil di rumah peninggalan kakeknya, sementara ibunya masih bekerja sebagai
asisten rumah tangga walaupun dengan majikan yang berbeda dengan majikan yang
awal.
Hidup sebagai
siswa SMA yan penuh dengan drama, tapi di sisi kehidupannya Rudi sadar bahwa ia
harus sekolah, mengingat semua kakaknya tidak ada yang sekolah, semuanya hanya
sampai sekolah dasar. Dan rudi memaksa untuk lanjut sekolah karena dia melihat
kehidupan keluarga yang jauh dari kata layak. Rudi merasa beruntung karena
ketika ia mengatakan bahwa ia ingin sekolah ibunya setuju. Dan ketika ia
mendaftar SMA, ia daftar di SMA favorit di daerah tempat tinggalnya. Jaraknya
cukup jauh, naik angkotpun harus dua kali. Ibunya menyarankan sekolah di tempat
yang dekat, jadi tidak harus keluar ongkos, cukup dengan jalan kaki. Rudi
akhirnya masuk ke SMA negeri terkenal dengan tidak terduga. Dia tidak terpikir
untuk sekolah disana karena mengingat biaya ongkos yang pasti ibunya keberatan.
Umumnya keluarga pasti bangga anaknya diterima di SMA negeri seperti itu, namun
hal pertama yang ditanyakan oleh ibunya adalah berapa ongkos kesana.
Karena sudah
diterima di sekolah tersebut, akhirnya mau tidak mau harus dilanjutkan, dengan
kesepakatan kakaknya yang bertanggung jawab masalah ongkos sehari-hari. Rudi
berharap dengan sekolah di sana dia bisa
memperbaiki kehidupan dirinya dan keluarganya di masa depan. Sehari-hari,
ongkos untuk sekolah ditanggung oleh kakaknya, jadi Rudi tidak usah khawatir
dan bisa fokus sekolah.
Rudi bukan
anak yang istimewa yang dibekali oleh berbagai keterampilan, mungkin
keterampilan yang dimilikinya hanya bersekolah dan belajar. Dia tidak memiliki
kemampuan berdagang, walaupun waktu ada acara 17 Agustusan di kampung waktu SD,
ia berjualan es campur milik tetangganya. Kemudian,selain itu, waktu SD setiap
minggu ia membantu tetangganya membersihkan rumah walaupun hanya dengan upah
makan siang. Jadi kemampuan Rudi hanya bersekolah. Sehari-hari mengandalkan
uang ongkos dari kakaknya, rudi tetap semangat bersekolah.
Suatu hari
Rabu yang cerah, Rudi bersiap beragkat sekolah karena dia tidak pernah bolos
sekolah. Hanya sehari saja Rudi bolos sekolah waktu ia di kelas satu waktu
kakeknya meninggal dunia. Sekarang ia kelas dua SMA. Dengan semangat seperti
biasanya, dia menyiapkan semuanya. Sudah bersiap berangkat, dia melihat kakakya
sedang duduk di kursi ruang tamu, dengan ragu-ragu Rudi meminta uang ongkos
karena dia tidak melihatnya di atas televisi seperti biasanya. Dengan perasaan
yang seperti ketakutan Rudi memberanikan diri meminta, namun tidak seperti
biasanya. Kali ini dengan perasaan yang tidak Rudi pahami, kakaknya berkata
“hari ini tidak usah sekolah, tidak ada uang!”
Tanpa
berkata-kata apupun, Rudi masuk ke kamarnya sambil menelan kekecewaan bahwa
hari ini dia tidak sekolah. Bagi orang lain, mungkin perasaan ini sudah biasa ataupun
tidak dianggap hal yang luar biasa. Tapi bagi Rudi yang keinginannya hanya
sekolah, hari itu merupakan hari yang berat. Tidak bisa diterima oleh
perasaannya yang lembut.
Hatinya
bertambah sedih, setelah ia mendengar suara kaca jendela pecah yang dilempar
cangkir kopi milik kakaknya. Rudi dengan penuh ketakutan berdiam diri di dalam
kamarnya. Perasaannya campur aduk, apa yang seharusnya dilakukannya. Mustahil
untuk berhenti sekolah, tidak, Rudi sama sekali tidak akan pernah berpikir
untuk berhenti sekolah hanya gara-gara satu hari tidak dapat ongkos.
Pagi itu
terasa berat bagi Rudi. Dengan perasaan yang mungkin hanya dipahami oleh
dirinya sendiri, Rudi menangis. Bukan karena dia ingin sekolah tapi dia merasa
sangat lemah dan tidak berdaya. Dia tidak bisa melakukan apupun untuk
membuatnya berangkat sekolah karena dia hanya mengandalkan pemberian dari
kakaknya. Ia merasa menjadi beban untuk keluarganya yang sebenanya tidak mampu
menyekolahkan dirinya. Tapi berpikir kembali, apa yang akan terjadi di masa
depan jika ia tidak menyelesaikan sekolah. Apakah ia harus menjadi buruh cuci
mobil serabutan. Bertani ia tidak bisa, lahanpun tidak ada karena dia tidak
berasal dari orang tua yang memiliki lahan lebih selain rumah kecil peninggalan
kakeknya. Rudi berpikir bagaimana caranya dia bisa selesai sekolah, dengan
prestasi yang baik namun dengan ongkos yang minim agar tidak terjadi pelemparan
kaca jendela rumah dengan cangkir kopi ketika hendak berangkat sekolah.
Air mata
diusap, baju yang sudah berganti, Rudi bangun dan keluar dari kamar. Dia pergi ke
dapur, bersih bersih rumah, mencuci apa yang ada di dapur. Karena itu hal yang
bisa dilakukan untuk hari ini, dia hanya berharap besok adalah hari yang
berbeda dari hari Rabu ini, hari dengan cara dan harapan yang berbeda. Hanya
itu yang bisa dia lakukan.
...
0 komentar:
Post a Comment